Jejak Terakhir Sanghyang Dedari, Tari Sakral di Bali

Agniya Khoiri, CNN Indonesia
Minggu, 29/01/2017 06:02 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Pulau Bali tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata yang memesona di Indonesia, tapi juga kental akan kebudayaannya.

Seperti halnya tari-tarian, Bali termasuk yang cukup kuat melestarikan budayanya lewat momen-momen tertentu. Seperti penyambutan, perayaan suatu hal ataupun ritual.

Namun belakangan, diketahui ada satu warisan budaya yang telah diakui Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), hampir punah. Warisan itu adalah Tari Sanghyang Dedari.

Peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Saras Dewi menceritakan hal itu di acara Simposium Seabad Pariwisata Budaya di Bali, di Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata, Sabtu (28/1).

“Awalnya saya ingin membuat dokumentasi soal tarian tersebut, tarian yang dianggap sebagai cikal bakal tari di Bali, tapi jejaknya sudah menghilang,” kata Saras mengawali cerita.

Dia pun mencarinya langsung ke tempat yang diyakini menjadi asal tarian itu yakni Desa Bona, Gianyar, di Bali Selatan. Namun, fakta yang ditemukannya tarian itu sudah punah di daerah itu dan warganya tak lagi menarikan ritual sakral tersebut.

“Kami pikir tari itu benar punah setelah riset selama 3 tahun. Kaitan punah ini tak bisa dipisahkan dengan tradisi pertanian. Tari Sanghyan dilakukan dalam ritual dalam waktu panen, sementara pertanian pun sudah jarang di sana,” ungkapnya.

Namun, setelah bercerita hal itu kepada beberapa rekan-rekan terdekatnya, Saras mendapatkan pencerahan. Dia mendapat informasi kalau ritual budaya itu masih dilakukan di desa Geriana Kauh, Duda Utara, Karangasem Bali, dan satu-satunya yang ada.

Saras pun pergi di sana, dia bersyukur kalau informasi itu benar dan tarian itu masih ada.

Ketua Desa Adat Geriana Kauh I Wayan Beratha yang turut hadir dalam acara itu pun kemudian menceritakan soal Tari Sanghyang Dedari itu. Menurutnya, tari itu menjadi ritual menjelang panen.

“Tari ini dilakukan menjelang padi menguning (sekitar April), melibatkan anak-anak perempuan yang belum memasuki fase menstruasi dan menyebabkan kerauhan (kerasukan),” tutur Beratha.

Disampaikan juga oleh Beratha, bahwa ritual Tari Sanghyan Dedari pun sempat berhenti di desa itu selama 30 tahun. Namun, karena panen sempat gagal berkali-kali, warga pun memutuskan untuk kembali melakukan ritual yang dipercayai dapat mengusir penyakit atau hama mengganggu pada pertanian mereka.

Ritual itu pun dipercaya untuk mendatangkan Dewi Sri atau kemakmuran. “Selama 10 tahun terakhir, tarian ini pun direvitalisasi oleh desa. Dan ke depan upaya pelestariannya, akan dibangun museum ekowisata, sehingga sejarahnya tercatat,” kata Saras yang juga mengucap syukur bahwa di tengah modernisme di Bali, masih ada yang mempertahankannya.

Meski direncanakan bentuk pelestariannya akan dikembangkan melalui wisata budaya, tapi Beratha mengatakan akan menerapkan batasan-batasan untuk menjaga kesakralannya.

“Kami komitmen untuk tidak menjual untuk menjaganya, hanya saja tentu kami berharap ada upaya agar ini tidak punah dan tetap dikenal,” harap Beratha.

(ded/ded)

diambil dari: http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20170128232759-241-189763/jejak-terakhir-sanghyang-dedari-tari-sakral-di-bali/